Tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Dengan beban kasus kedua tertinggi di dunia setelah India, Indonesia mencatat lebih dari 1 juta kasus TBC per tahun dengan sekitar 134 ribu kematian pada 2022 (1). Angka tersebut menunjukkan bahwa upaya pengendalian belum optimal, terutama pada komunitas padat dan rentan seperti pondok pesantren. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan berbasis komunitas yang khas di Indonesia, kerap menghadapi tantangan dalam pengelolaan sanitasi, ventilasi, dan akses terhadap layanan kesehatan. Studi menunjukkan bahwa kondisi asrama yang padat dan sirkulasi udara yang buruk meningkatkan risiko penularan TBC, terutama jika tidak ada deteksi dini dan isolasi kasus yang memadai (2).
Pernah terjadi outbreak TBC di salah satu pesantren besar di Jawa Barat, di mana puluhan santri dinyatakan positif TBC aktif dalam kurun waktu kurang dari enam bulan (3). Kejadian tersebut memperlihatkan lemahnya sistem surveilans kesehatan dan kurangnya edukasi tentang penyakit menular di lingkungan pesantren. Selain itu, stigma terhadap TBC kerap menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Dalam konteks ini, pesantren menjadi kelompok prioritas dalam strategi nasional eliminasi TBC, yang menargetkan Indonesia bebas TBC pada 2030. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mulai menggandeng berbagai institusi pendidikan dan keagamaan untuk memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan dalam pengendalian penyakit menular (4).
Sebagai respons terhadap urgensi ini, Indonesia turut menjadi lokasi uji coba vaksin TBC M72/AS01E, hasil kolaborasi antara Bill & Melinda Gates Foundation, GSK, dan beberapa mitra global. Vaksin ini menunjukkan efektivitas hingga 50% dalam mencegah perkembangan TBC aktif pada individu dengan infeksi laten (5). Uji coba ini menjadi peluang strategis untuk integrasi intervensi vaksinasi di lingkungan padat seperti pesantren. Keterlibatan pesantren dalam program vaksinasi, skrining massal, dan pelatihan kader santri sehat dapat menjadi pendekatan preventif yang kuat. Akademisi dari berbagai institusi juga mulai mendorong pengembangan kurikulum kesehatan berbasis pesantren, serta penelitian partisipatif untuk memahami dinamika sosial-budaya dalam pencegahan penyakit menular di komunitas ini (6).
Langkah ke depan membutuhkan sinergi antara pemerintah, pesantren, dan institusi akademik. Pertama, perlu dilakukan pemetaan risiko TBC di seluruh pesantren besar melalui skrining rutin dan digitalisasi data kesehatan santri. Kedua, pelatihan kader santri sehat yang dilengkapi dengan pengetahuan tentang TBC, pelaporan gejala dini, dan pentingnya kepatuhan pengobatan harus diintensifkan. Ketiga, pemberdayaan pesantren dalam intervensi berbasis komunitas, termasuk peningkatan infrastruktur ventilasi dan sanitasi, serta advokasi terhadap penerimaan sosial terhadap penderita TBC, merupakan strategi penting. Melalui integrasi peran multisektor ini, pesantren dapat menjadi garda terdepan dalam eliminasi TBC di Indonesia (7).
Daftar Pustaka (Vancouver Style):
- World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2023. Geneva: WHO; 2023.
- Tessema B, Gumley E, Mulu A, et al. Risk factors for active pulmonary tuberculosis in a high-burden setting: A systematic review. BMC Public Health. 2019;19(1):101.
- Kementerian Kesehatan RI. Laporan Kasus TBC Klaster Pesantren di Jawa Barat. Jakarta: Direktorat P2P; 2022.
- Kemenkes RI. Strategi Nasional Eliminasi Tuberkulosis 2020-2030. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2020.
- Tait DR, Hatherill M, Van Der Meeren O, et al. Final Analysis of a Trial of M72/AS01E Vaccine to Prevent Tuberculosis. N Engl J Med. 2019;381(25):2429-39.
- Prasetyo A, Maulida M, Fitriani F. Health promotion model in Islamic boarding schools: Strengthening religious leaders’ roles in tuberculosis prevention. J Health Educ Res Dev. 2021;39(2):117-24.
- Nugroho A, Yuliana S, Astuti EP. Strengthening the Role of Islamic Boarding Schools in Tuberculosis Control: A Policy Analysis. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2022;17(1):1-7.