Kenapa skabies mudah ditemukan di kulit santri di pesantren?

Artikel ini merupakan bagian dari serial #AkhiriPenyakitTerlupakan#

Satu masalah yang sejak dulu menjadi momok di pondok pesantren di Indonesia adalah kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Padahal, pada 2021 di Indonesia ada sekitar empat juta santri yang tinggal dan belajar di puluhan ribu pesantren dari level pra-sekolah hingga mahasiswa universitas.

Sebagai sekolah berasrama, dengan banyak penghuni yang beragam latar belakang dan bergaul erat dalam jangka lama, keadaan pesantren telah menciptakan risiko kesehatan.

Salah satu penyakit kulit yang mudah ditemukan di pesantren adalah skabies alias gudik. Ini penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Tungau betina mampu menggali ke dalam kulit dan bertelur, memicu respons imun yang menyebabkan rasa gatal dan ruam yang hebat.

Data Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi skabies di populasi umum adalah 3,9 – 6% tapi bisa mencapai 84,8% di sekolah asrama.

Sejak 2017, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan skabies dalam daftar penyakit tropis yang terabaikan (neglected tropical diseases) yang ditargetkan hilang pada 2030. Indonesia juga punya kemauan ke arah sana.

Kita perlu melakukan intervensi yang serius untuk mengeliminasi skabies di pesantren, juga di masyarakat, agar anak-anak kita bisa lebih sehat. Agar mereka belajar lebih lancar, tanpa harus menggaruk-garuk kulitnya pada malam hari saat tungau skabies bekerja menggali kulit yang menghasilkan rasa gatal.

Lingkungan dan perilaku berisiko

Di Indonesia, ada sekitar 27.600 pesantren yang tersebar di 34 provinsi. Di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini ada 319 pesantren di 5 kabupaten dan kota. Jumlah santri mukimnya sekitar 38.400 orang dan santri yang tidak mukim hampir 15.000 orang.

Untuk meningkatkan kualitas hidup santri dan penghuni pesantren agar terbebas dari skabies, kami dari Tim Pengabdian Masyarakat Kader Santri Sehat Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM) membuat sebuah program pengabdian Kader Santri Sehat di satu pesantren di Yogyakarta.

Kader Santri Sehat merupakan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan di lingkungan pesantren melalui sebuah sistem kesehatan yang melibatkan santri. Mereka adalah kader kesehatan yang merupakan perpanjangan tangan dari tenaga kesehatan baik dokter, perawat, maupun ahli gizi di lingkungan pesantren.

Program ini didasarkan beberapa riset yang menunjukkan masalah kesehatan kulit ini begitu mengkhawatirkan di kalangan pesantren.

Sebuah studi pada 2014 di pesantren di Bantul Yogyakarta menunjukkan prevalensi skabies di sana mencapai 88,46% pada santri usia 10-19 tahun yang telah tinggal menetap lebih dari setahun.

Riset lainnya di sebuah pesantren di Jakarta Timur, pada 2012 dengan pemeriksaan 192 santri, menunjukkan prevalensi skabies 51,6% (laki-laki 57,4% dan perempuan 42,9%; siswa MTs 58,1% dan MA 41,3%). Lokasi lesi skabies terbanyak di bokong (33,8%) dan di sela jari tangan (29,2%).

Riset terbaru pada 2021 menunjukkan kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan sebuah pesantren di Kabupaten Jember Jawa Timur. Ini dibuktikan dari survei yang menunjukkan dapur, kamar tidur, dan kamar mandi kurang bersih. Mereka juga kurang dalam higinitas personal terutama kebersihan rambut, telinga, dan pakaian.

Temuan serupa lebih lama juga ditunjukkan riset serupa pada 2004 di beberapa pesantren di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Timur. Pengelolaan sampah belum benar, kualitas air bersih belum memadai, perilaku sehat dan bersih masih kurang. Informasi dan akses kesehatan juga minim.

Riset-riset ini menunjukkan lingkungan padat penduduk, kontak erat antarpenghuni, dan kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat dapat menjadi faktor risiko penyebaran penyakit menular di pesantren.

Beban penyakit dan perangkap mitos

Berdasarkan Global Burden of Diseases Study 2015, Indonesia menempati peringkat pertama negara dengan beban penyakit tertinggi akibat skabies. Skabies dapat menurunkan kualitas hidup dan mengganggu aktivitas penting kehidupan, terutama pada siswa yang terkena pada saat bersekolah.

Skabies mengakibatkan santri mengalami gatal, luka hingga infeksi jika tidak ditangani dengan baik.

Sekitar 90% penularan skabies dilakukan oleh tungau dewasa betina. Mereka tidak dapat melompat atau terbang tapi berpindah dengan merayap. Kontak kulit ke kulit yang cukup lama, misalnya, pada saat tidur bersama di asrama merupakan sarana penularan tungau. Pemakaian handuk dan sprei bersama dalam durasi lama juga bisa menjadi jalur penularan.

Selain pesantren, panti jompo, panti asuhan, dan tempat lain yang penghuninya tinggal dalam jangka waktu lama juga merupakan tempat berisiko tertular skabies.

Masalah makin berlarut-larut karena penyakit ini seringkali dianggap ringan dan kerap diabaikan sehingga tidak ditangani dengan serius oleh masyarakat dan pemerintah.

Selain faktor mikrobiologi dan perilaku, ada kepercayaan, mitos, dan persepsi keliru yang juga memengaruhi transmisi penyakit menular di pesantren. Sebagai contoh, skabies dianggap sebagai penyakit yang wajar diderita oleh santri jika akan memperoleh ilmu di pesantren.

Ada banyak kiai mengatakan, “Kalau kamu sudah gatal-gatal di pesantren, tandanya kamu sudah betah dan ilmu akan lebih mudah masuk”.

Walaupun argumen ini belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tapi sebagian kiai menganggap bahwa penyakit kudis yang diderita santri adalah tanda awal turunnya berkah.

Bebas dari skabies

Perilaku tidak sehat dan mitos yang bertentangan dengan ilmu kesehatan perlu ditinjau ulang agar santri hidup lebih sehat dan studinya lancar. Kita perlu memercayai bukti-bukti sains dan riset.

Tak ada cara lain bahwa skabies harus disembuhkan dan dicegah menular agar kualitas hidup santri lebih baik.

Kita perlu mencetak lebih banyak Kader Santri Sehat untuk mempromosikan perilaku hidup sehat dan mencegah penyakit di pesantren.

Pengasuh dan pengelola pesantren dapat berkolaborasi dengan dinas kesehatan, puskesmas atau universitas untuk mempromosikan hidup sehat  secara rutin sebagai pencegahan primer.

Para santri yang terkena skabies perlu segera diobati secara serentak dan yang sudah sembuh dicegah terinfeksi kembali. Untuk pencegahan, sanitasi dan akses pada air bersih, dan sampah di pesantren juga perlu dikelola lebih bersih.

Rehabilitasi dan mencegah munculnya komplikasi lain dilakukan dengan mencuci bersih pakaian, handuk, dan sprei yang telah digunakan dalam tiga sampai lima hari terakhir dengan air panas dan deterjen. Barang-barang itu perlu dijemur di bawah sinar matahari untuk membunuh tungau.

Adapun peralatan yang tidak dapat dicuci, dapat diisolasi dalam plastik tertutup dan didiamkan selama beberapa hari atau seminggu.

Pada akhirnya, penyakit skabies bisa sembuh dan hilang dengan upaya-upaya di atas yang berbasis sains kesehatan. Cara itu sudah terbukti di berbagai tempat.

Scroll to Top